Mengapa Kampung Yuyun Rawan Kejahatan Seksual?
https://kanzaoriginal.blogspot.com/2016/05/mengapa-kampung-yuyun-rawan-kejahatan.html
Selain Yuyun, sebanyak delapan kasus kekerasan seksual juga terjadi di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, sepanjang 2016. Korban kekerasan seksual berbentuk pemerkosaan itu menimpa anak-anak di bawah umur 18 tahun. Artinya, lebih dari separuh kasus kekerasan seksual di Bengkulu terjadi di kabupaten itu.
Salah satu kasus bahkan melibatkan hubungan sedarah alias incest. Korban diperkosa ayah kandungnya hingga hamil. Namun, kasus terparah adalah pemerkosaan dan pembunuhan yang dialami Yuyun karena melibatkan 14 pelaku. Tujuh di antaranya bahkan masih di bawah umur.
Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan WCC Artety Sumeri menerangkan salah satu faktor penyebab kekerasan seksual terhadap anak perempuan rawan terjadi di Rejang Lebong adalah kondisi lingkungan setempat.
Kondisi topografi kabupaten yang berlokasi di perbatasan antara Bengkulu dan Sumatera Selatan itu adalah pegunungan dan perbukitan sehingga cocok untuk mengembangkan usaha pertanian dan perkebunan. Terbukti, mayoritas masyarakat setempat bermata pencaharian sebagai penggarap kebun.
Lokasi antara kebun dan tempat tinggal mereka cukup jauh. Mereka tak jarang meninggalkan rumah berhari-hari untuk menggarap kebun mereka dan membiarkan anak mereka tinggal di rumah tanpa penjagaan. Saat itulah, predator seksual bisa leluasa memangsa anak-anak yang tidak berpenjaga.
"Itu sudah jadi kebiasaan masyarakat setempat. Ketika mereka ke kebun, anak-anak bisa ditinggal sampai dua hari karena lokasi perkebunan mereka jauh dari pemukiman,
Bajing Loncat
Situasi yang sama juga dialami keluarga Yuyun. Kedua orangtua siswi Kelas VIII SMP Negeri 5 Satu Atap, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, sedang bekerja di kebun dan meninggalkan anak-anaknya tanpa pengawasan saat aksi keji terhadap Yuyun terjadi.
Kedua orangtua Yuyun, lanjut Tety, baru mengetahui anaknya tidak pulang ke rumah sehari setelah kejadian. Berbekal informasi itu, keluarga melaporkan kehilangan Yuyun ke polisi. Jenazah bocah berusia 14 tahun kemudian ditemukan dua hari setelah kejadian.
"Walau tidak bisa dijadikan alasan, tapi situasi pekerjaan memaksa mereka meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan. Situasi itu kemudian dimanfaatkan oleh orang yang berniat jahat," kata Tety.
Selain kondisi topografi dan tuntutan pekerjaan, faktor lain yang dianggap menyumbang kerawanan kekerasan seksual di Rejang Lebong adalah kemiskinan. Menurut Tety, banyak masyarakat yang tergolong tidak mampu sehingga pendidikan bukanlah kewajiban untuk dipenuhi.
Kalupun ada yang bersekolah, para pemuda setempat kekurangan media untuk mengeksplorasi hal-hal positif. Beberapa dari mereka akhirnya menyalurkan energinya ke hal-hal negatif. Kondisi diperparah dengan tingginya tingkat kekerasan di Rejang Lebong.
"Wilayah itu terkenal dengan bajing loncat," ucap Tety.
Untuk menanggulangi hal itu, kata Yuyun, pemerintah setempat mulai membentuk forum anak di Kabupaten Rejang Lebong. Hal itu bertujuan menyediakan alternatif kegiatan bagi para pemuda setempat.
"Tapi, saya kurang tahu apakah sudah berjalan atau belum," kata Tety.
Di sisi lain, ia menilai kesadaran, kepedulian dan partisipasi warga setempat juga mulai muncul akibat banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk layanan berbasis komunitas di tingkat desa.
Komunitas akar rumput itu kini berjalan di lima desa dan dilegitimasi oleh peraturan desa. Pemkab setempat juga sudah mengetahui layanan komunitas ini dan didukung secara penuh.
"Salah satu fungsinya adalah memonitoring dan advokasi kasus kekerasan seksual," ucap Tety.
Salah satu kasus bahkan melibatkan hubungan sedarah alias incest. Korban diperkosa ayah kandungnya hingga hamil. Namun, kasus terparah adalah pemerkosaan dan pembunuhan yang dialami Yuyun karena melibatkan 14 pelaku. Tujuh di antaranya bahkan masih di bawah umur.
Direktur Eksekutif Cahaya Perempuan WCC Artety Sumeri menerangkan salah satu faktor penyebab kekerasan seksual terhadap anak perempuan rawan terjadi di Rejang Lebong adalah kondisi lingkungan setempat.
Kondisi topografi kabupaten yang berlokasi di perbatasan antara Bengkulu dan Sumatera Selatan itu adalah pegunungan dan perbukitan sehingga cocok untuk mengembangkan usaha pertanian dan perkebunan. Terbukti, mayoritas masyarakat setempat bermata pencaharian sebagai penggarap kebun.
Lokasi antara kebun dan tempat tinggal mereka cukup jauh. Mereka tak jarang meninggalkan rumah berhari-hari untuk menggarap kebun mereka dan membiarkan anak mereka tinggal di rumah tanpa penjagaan. Saat itulah, predator seksual bisa leluasa memangsa anak-anak yang tidak berpenjaga.
"Itu sudah jadi kebiasaan masyarakat setempat. Ketika mereka ke kebun, anak-anak bisa ditinggal sampai dua hari karena lokasi perkebunan mereka jauh dari pemukiman,
Bajing Loncat
Situasi yang sama juga dialami keluarga Yuyun. Kedua orangtua siswi Kelas VIII SMP Negeri 5 Satu Atap, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, sedang bekerja di kebun dan meninggalkan anak-anaknya tanpa pengawasan saat aksi keji terhadap Yuyun terjadi.
Kedua orangtua Yuyun, lanjut Tety, baru mengetahui anaknya tidak pulang ke rumah sehari setelah kejadian. Berbekal informasi itu, keluarga melaporkan kehilangan Yuyun ke polisi. Jenazah bocah berusia 14 tahun kemudian ditemukan dua hari setelah kejadian.
"Walau tidak bisa dijadikan alasan, tapi situasi pekerjaan memaksa mereka meninggalkan anak-anak tanpa pengawasan. Situasi itu kemudian dimanfaatkan oleh orang yang berniat jahat," kata Tety.
Selain kondisi topografi dan tuntutan pekerjaan, faktor lain yang dianggap menyumbang kerawanan kekerasan seksual di Rejang Lebong adalah kemiskinan. Menurut Tety, banyak masyarakat yang tergolong tidak mampu sehingga pendidikan bukanlah kewajiban untuk dipenuhi.
Kalupun ada yang bersekolah, para pemuda setempat kekurangan media untuk mengeksplorasi hal-hal positif. Beberapa dari mereka akhirnya menyalurkan energinya ke hal-hal negatif. Kondisi diperparah dengan tingginya tingkat kekerasan di Rejang Lebong.
"Wilayah itu terkenal dengan bajing loncat," ucap Tety.
Untuk menanggulangi hal itu, kata Yuyun, pemerintah setempat mulai membentuk forum anak di Kabupaten Rejang Lebong. Hal itu bertujuan menyediakan alternatif kegiatan bagi para pemuda setempat.
"Tapi, saya kurang tahu apakah sudah berjalan atau belum," kata Tety.
Di sisi lain, ia menilai kesadaran, kepedulian dan partisipasi warga setempat juga mulai muncul akibat banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Kesadaran itu diwujudkan dalam bentuk layanan berbasis komunitas di tingkat desa.
Komunitas akar rumput itu kini berjalan di lima desa dan dilegitimasi oleh peraturan desa. Pemkab setempat juga sudah mengetahui layanan komunitas ini dan didukung secara penuh.
"Salah satu fungsinya adalah memonitoring dan advokasi kasus kekerasan seksual," ucap Tety.